السبت، 23 فبراير 2013

MAKALAH : MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

*
Telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran  kontradiktif  menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah  serta bersifat keluh kesah lagi kikir[1].

Gambaran kontradiktif itu bukanlah berarti bahwa ayat-ayat yang berbicara perihal manusia bertentangan satu sama lain, melainkan justru menandakan bahwa makhluk yang bernama manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, dan makhluk yang berada di antara predisposisi negatif dan positif[2]. Hal ini dapat difahami dengan mengkaji asal-usul kejadiannya, proses penciptaannya dan keragaman terminologinya dalam al-Quran.

Asal-usul kejadian manusia.

Generasi manusia yang ada sampai sekarang, dalah berasal dari manusia pertama yang bernama Adam dengan istrinya yang populer bernama Hawa[3]. Diantara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa adalah ayah dan ibu generasi manusia setelahnya, adalah:

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّة

“Hai anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan, sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga” (QS. Al-A’raf : 27)

Adam sendiri diciptakan dari tanah sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT dalam beberapa firman-Nya yang salah satunya pada firman berikut:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah menciptakan-Nya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah dia” (QS. Ali Imran : 59)

Ayat ini secara explisit merupakan bantahan terhadap para pengagum Isa as yang menilainya sebagai anak Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui seorang ayah, melainkan melalui kalimat Allah. Tetapi secara implisit menjelaskan  kejadian Isa as yang semisal dengan kejadian Adam as yaitu diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta  Allah SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan ‘kun’. Juga karena pada ayat yang lain Allah SWT melukiskan, bahwa Dia menciptakan Adam as dari tanah, dan setelah Dia sempurnakan kejadiannya, Dia tiupkan ruh ciptaan-Nya.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِين
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. al-Hijr :29)

Maka kata ‘kun’ pada ayat di atas, disebutkan hanyalah sekedar untuk menggambarkan kemudahan dan kecepatan wujud apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan ayat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi dan proses apa yang dilalui antara penciptaan dari tanah dengan penghembusan ruh ciptaan-Nya. Jika diibaratkan penciptaan dari tanah sama dengan A, dan penghembusan ruh ciptaan-Nya sama dengan Z, maka antara A dan Z tidak dijelaskan baik materi maupun waktunya.
Melalui ayat QS. Ali Imran : 59 pula, Allah SWT membantah keyakinan umat Nasrani yang bersikeras mengatakan bahwa tidak mungkin Isa as lahir tanpa memiliki seorang ayah. Karena Dzat yang mampu menciptakan Adam as tanpa seorang ayah dan seorang ibu, tentu saja lebih mampu untuk menciptakan Isa as dengan hanya dari seorang ibu. Dr. G.C. Goeringer,  Direktur Kursus dan Profesor Kepala Embriologi Kedokteran di Departemen Biologi Sel Sekolah  Kedokteran Universitas Georgetown Washington D.C mengatakan bahwa sains modern saat ini membuktikan bahwa banyak binatang dan makhluk hidup di dunia ini yang terlahir dan berkembang biak tanpa proses pembuahan pihak laki-laki (pejantan) dari spesiesnya. Sebagai contoh, seekor lebah jantan tidak lebih dari sekedar telur yang belum dibuahi, sedangkan telur yang telah dibuahi (oleh pejantannya) berkembang menjadi lebah betina (ratu). Selain itu, lebah-lebah jantan tercipta dari telur-telur ratu lebah yang tidak dibuahi oleh pejantannya. Ada banyak sekali contoh yang demikian di dunia hewan. Selain itu, manusia saat ini memiliki sarana sains untuk merangsang telur dari beberapa organisme sehingga telur-telur ini berkembang tanpa pembuahan dari pejantannya. Lebih lanjut  Goeringer menyatakan: Dalam beberapa contoh pendekatan, telur-telur yang tidak dibuahi dari beberapa spesies amfibi dan mamalia tingkat rendah dapat diaktifkan secara mekanik (seperti penusukan dengan sebuah jarum), secara fisik (seperti kejutan panas), atau secara kimia dengan pencampuran dari beberapa substansi kimia yang berbeda, dan berlanjut ke tahap perkembangan. Dalam beberapa spesies, tipe perkembangan secara parthenogenetic seperti ini adalah alami.[4] 
Selanjutnya kejadian generasi manusia setelah Adam as, penciptaannya diisyaratkan dalam ayat :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاء
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya. Allah mengembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan” (QS. an-Nisa : 1)

Para Mufassir terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu) pada ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. al-Hujurat : 13)

Maka kedua  ayat di atas pada prinsipnya  berbicara sama yaitu tentang asal kejadian manusia  dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum ibu. Hanya tekanannya saja yang berbeda. Jika ayat pertama dalam konteks menjelaskan banyak dan berkembang biaknya manusia dari seorang ayah dan ibu, maka ayat kedua konteksnya adalah persamaan hakikat kemanusian orang perorang, dimana setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Sehingga tidak dibenarkan seseorang menghina atau merendahkan orang lain.

Dengan memaknai kata ‘nafsin wahidah’ dalam arti diri (jenis) yang satu, Thabathaba’i dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut juga memberi penegasan bahwa pasangan (isteri Adam) yang ditunjuk kata ‘zaujaha’ diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam yakni dari tanah dan hembusan ruh Ilahi. Menurutnya sedikitpun ayat itu tidak mendukung faham yang beranggapan bahwa Hawa  diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang difahami para Mufassir terdahulu.[5]

Akan halnya hadis riwayat Abi Hazm dari Abi Hurairah ra yang kerap digunakan untuk memperkuat faham itu, selain tertolak kesahihannya sehingga tidak dapat digunakan hujjah (argumentasi), juga – sebagaimana mayoritas ulama kontemporer mengatakan - hadis tersebut tidaklah tepat jika difahami dalam pengertian harfiah, melainkan harus difahami dalam pengertian metafora. Maka konteksnya dalam rangka mengingatkan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, mengingat ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda. Tidak ada seorangpun yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[6]

Walhasil makhluk yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama Adam as dan istrinya Hawa, juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya berasal dari bahan baku yang sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh Ilahi. Hanya model penciptaannya saja yang berbeda. Penciptaan manusia – sebagaimana disimpulkan Quraish Shihab – terdiri dari empat model penciptaan. Model pertama menciptakan dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as. Kedua menciptakan setelah disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as. Model ketiga menciptakan hanya dengan  ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as. Dan yang terakhir menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu generasi manusia setelah Adam as.[7]

Ali Syari’ati[8] menafsirkan tanah - sebagai salah satu unsur kejadian manusia - merupakan simbol kerendahan dan kenistaan, sedang unsur yang lain yaitu ruh Allah adalah simbol kemuliaan dan kesucian tertinggi.  Yusuf Qardawi - sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat[9] – membahasakan manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan ruh Ilahi (baina qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda) terdiri atas sifat material (jasmani) dan sifat spiritual (ruhani). Sifat materialnya cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, dan sifat spiritualnya mengarahkan dirinya menaiki puncak setinggi-tingginya. Satu hal yang menarik adalah kedua anasir yang bertentangan itu harus selalu berada dalam keseimbangan. Tidak boleh seseorang mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh. Begitu pula tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.

Fase penciptaan manusia.
Proses penciptaan manusia dijelaskan Allah SWT dalam beberapa firman-Nya melalui berbagai fase atau tahapan. Salah satunya pada QS. Al-Mu’minun : 12-14 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ *    ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ *    ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari  saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
 (QS. al-Mu’minun : 12-14)
Terdapat munasabah (keserasian) dalam penempatan rangkaian ayat ini yang  mengemukakan tujuh fase proses penciptaan manusia, setelah rangkaian ayat sebelumnya yang menguraikan tujuh macam sifat orang-orang mukmin. Seakan-akan kedua rangkaian ayat ini menyatakan kepada kita : “Wahai manusia, engkau berhasil keluar dan berada di pentas bumi ini setelah melalui tujuh fase, maka engkaupun perlu menghiasi diri dengan tujuh hal agar berhasil pula dalam kehidupan sesudah kehidupan dunia ini”.
Sungguh menakjubkan fase-fase penciptaan manusia yang dijelaskan secara detail oleh rangkaian ayat di atas, karena ternyata fase-fase yang dijelaskannya terbukti sejalan dengan penemuan ilmiah embriologi modern dewasa ini. Fase-fase itu adalah :
  1. ‘Sulalah min thin’ (saripati tanah).
Saripati tanah yang dimaksud – sebagaimana pendapat Thahir Ibn ‘Asyur – adalah zat yang diproduksi oleh alat pencernaan yang berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang selanjutnya menjadi darah, kemudian berproses hingga akhirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan sex.[10]
Pada ayat lain (QS. Al-Hajj : 5) fase ini disebutnya fase ‘turab’ (tanah)[11]. Pada ayat inipun yang dimaksud tanah adalah asal-usul sperma yaitu zat makanan yang berasal dari bahan makanan yang bersumber dari tanah. Karena itu Sayyid Quthub mengomentari kata ‘turab’ dengan mengatakan :
“Manusia adalah putri bumi ini. Dari tanahnya dia tumbuh berkembang, dari tanahnya dia berbentuk, dan dari tanahnya pula dia hidup. Tidak terdapat satu unsurpun dalam jasmani manusia yang tidak memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahasia yang sangat halus itu yang ditiupkan Allah padanya dari ruh-Nya dan dengan ruh itu itulah manusia berbeda dari unsur-unsur tanah itu, tetapi pada dasarnya manusia berasal dari tanah. Makanan dan semua unsur jasmaninya berasal dari tanah”[12]  
  1. ‘Nuthfah’ (air mani).
Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.[13]
  1. ‘Alaqah’ (segumpal darah).
Segumpal darah adalah salah satu arti kata ‘alaqah dari dua arti lainnya yaitu ‘sesuatu yang melayang’ dan ‘lintah’.  Seorang ilmuwan terkenal dalam bidang anatomi dan embriologi Prof. Keith Moore menyatakan bahwa ‘alaqah sebagai ‘sesuatu yang melayang’ sesuai dengan apa yang bisa dilihat pada pengikatan embrio - selama fase ini - pada rahim ibu. Dan ‘alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau ‘gumpalan darah yang membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui saat-saat internal yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh tertutup sampai dengan putaran metabolis lengkap melalui plasenta (ari-ari). Selama fase ini darah  ditangkap di dalam pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh penampakan sebagai gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan ‘lintah’ oleh karena embrio selama fase ‘alaqah memperoleh penampakan yang sangat mirip dengan lintah. Prof. Keith Moore menguji dengan membandingkan lintah air yang masih segar dengan embrio pada fase ini dan beliau menemukan kesamaan diantara keduanya. Ketiga deskripsi tersebut secara ajaib diberikan hanya oleh sebuah kata dalam ayat al-Quran yaitu kata ‘alaqah.[14]
  1. ‘Mudghah’ (segumpal daging).
Mudhghah berasal dari kata madhagha yang berarti mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah.
  1. ‘Idzam (tulang atau kerangka).
Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berbalut kerangka atau tulang.
  1. Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot).
Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm (daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang[15].
  1. Insya  (mewujudkan makhluk lain).
Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga mencapai kesempurnaan makhluk.
Terminologi manusia.
Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas. Agar terhindak dari kerancuan semantik, perlu difahami dalam konteks apa manusia disebut basyar, dan dalam konteks apa manusia disebut insan, serta dalam konteks apa pula manusia disebut al-nas.
  1. Basyar.
Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf : 31 :
فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيم
 “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia 
 (QS.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain juga manusia disebut dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak :
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
 “Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia (basyar) (QS.Ali Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni  sebagai manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan melakukan aktifitas lainnya[16]. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah saw untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَي
 “Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu” (QS.Al-Kahfi : 110)[17]
Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk/ postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.
  1. Al-Insan.
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan  itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Kategori pertama dapat difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut :
1.      Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan[18]. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan[19] untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.[20]
2.      Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah[21], suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik[22]. Sedangkan menurut Thabathaba’i amanah dimaknai sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah[23]. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara metaforis perjanjian itu digambarkan dalam QS. Al-A’raf : 172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”
 (QS.al-A’raf : 172)
3.      Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan[24]. Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan  kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya[25].
Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab[26] untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik[27] karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan setimpal[28]. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan[29] dan ditentukan nasibnya di hari kiamat[30].
4.      Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.[31]
Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat[32].
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat al-ruh.
  1. Al-Nas.
Konsep al-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya    adalah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”
(QS.al-Hujurat : 13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan ditunjukkan dengan dua model pengungkapan :
  1. Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman[33], ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah[34]. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia[35], berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah[36], yang menyembah Allah dengan iman yang lemah[37].
  2. Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Demikian banyaknya penyebutan kata al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk – menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan  diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali. 
Peran dan tanggung jawab manusia.
Dengan berbagai macam kedudukannya baik sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa (bernalar, pembawa amanah, bertanggung jawab), dan makhluk sosial, manusia diberi dua peran sekaligus dituntut bertanggung jawab dalam menjalankan perannya yaitu sebagai khalifatullah dan sebagai ‘abdullah. Peran sebagai khalifatullah digambarkan QS. Al-Baqarah : 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَة
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”
(QS.al-Baqarah : 30)
sedang peran sebagai ‘abdullah dinyatakan dalam QS. Al-Dzariyat : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku”
(QS.al-Dzariyat : 56)
Yang penting untuk dicatat adalah peran manusia sebagai khalifatullah dan sebagai ‘abdullah tidak  bisa lepas dari realitas kedudukan manusia sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa dan makhluk sosial[38]. Diantara contohnaya adalah : Manusia diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan hukum shalat adalah berdiri. Tetapi pada saat manusia mengalami sakit parah diperbolehkan melaksanakan shalat dengan duduk atau berbaring. Artinya manusia diberi dispensasi karena masalah sakit adalah persoalan biologis manusia. Contoh lain dalam keadaan perjalanan jauh seseorang boleh men-jama’ dan meng-qashar shalat. Begitupun wanita menyusui, orang yang lanjut usia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan lain sebagainya. Hal yang sama berlaku pada kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Contohnya nabi Muhammad saw yang biasanya shalat khusyu’ dan zikirnya panjang, berulangkali mempercepat shalatnya gara-gara ada tamu yang menunggu. Nabi juga mengingatkan para imam tidak memperpanjang shalat dengan pertimbangan sosial pada makmumnya.
Wallahu a’lam.
*) Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Daftar Pustaka :

1.       Al-Quranul Karim
2.       Membumikan al-Quran, Quraish Shihab,  Mizan : 1994
3.       Teologi Pendidikan, Mohammad Irfan-Mastuki HS, Friska Agung Insani : 2003
4.       Horison Manusia, Mahmoud Rajabi, Al-Huda : 2006
5.       http:/kajian-agama,blogspot.com/
6.       Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-Ilmiyah : tt.
7.        Sosiologi Islam, terjemahan dari On the Sociology of Islam, Ali Syariati, Ananda I : 1982
8.       Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat, Mizan : 1991
9.       at-Tahrir wat-Tanwir, Thahir Ibn ‘Asyur
10.    Tafsir fi Dzilalil-Quran, Sayyid Quthub,
11.    Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2002
12.    The Quranic Concept of God, The Universe and Man, Fazlurrahman, Mizan : 1990
13.    Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-‘Ilmiyah 
14.    Dinamika Kehidupan Religius, Muhammad Tholchah Hasan, Listafariska : 2003


[1] Membumikan al-Quran, Quraish Shihab,  Mizan : 1994 , hal. 233
[2] Teologi Pendidikan, Mohammad Irfan-Mastuki HS, Friska Agung Insani : 2003, hal. 55
[3] Horison Manusia, Mahmoud Rajabi, Al-Huda : 2006, hal. 91
[4] http:/kajian-agama,blogspot.com/
[5] Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-Ilmiyah : tt.  
[6] Redaksi hadis tersebut  berbunyi : “Saling berwasiatlah untuk bebuat baik kepada perempuan. Karena  mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Kalau engkau berupaya meluruskannya dia akan patah, dan kalau engkau membiarkannya dia tetap bengkok”. (Shahih Bukhari 1 : 2680 dan Musnad Ahmad 2 : 496)

[7] Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2000, Vol. 2 Hal. 102.
[8] Sosiologi Islam, terjemahan dari On the Sociology of Islam, Ali Syariati, Ananda I : 1982
[9] Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat, Mizan : 1991
[10] at-Tahrir wat-Tanwir, Thahir Ibn ‘Asyur
[11] Bunyi ayat tersebut :  “Hai manusia seandainya kamu dalam keraguan tentang kebangkitan maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah”
[12] Tafsir fi Dzilalil-Quran, Sayyid Quthub,
[13] Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2002, vol 9 hal. 13 dan 167
[14] http :/kajian-agama, blogspot.com/
[15] Tafsir fi Dzilalil Quran, Sayyid Quthub,
[16] Lihat QS. Al-Ahzab : 33, QS. Al-Furqan : 7 dan 20.
[17] Lihat juga QS. Fusshilat : 6
                                                                  
18  QS. At-Tin : 4
[19]  QS. Thaha : 122
[20]  QS. Al-Baqarah : 30. Lihat juga QS. Al-An’am : 165
[21] QS. Al-Ahzab : 72
[22] The Quranic Concept of God, The Universe and Man, Fazlurrahman, Mizan : 1990
[23] Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-‘Ilmiyah : tt.
[24] QS. Al-‘Alaq : 4-5
[25] Lihat QS. An-Nazi’at : 35 (nadzar pada perbuatannya), QS. ‘Abasa : 24-36 (nadzar pada proses terbentuknya makanan), QS. At-Thariq : 5 (nadzar pada proses penciptaannya)
[26] QS. Al-Qiyamah : 3 dan 36, QS. Qaaf : 16
[27] QS. Al-‘Ankabut : 8, Q S. Luqman : 14, QS. Al-Ahqaf : 15
[28] QS. An-Najm : 39
[29] QS. Al-Isra : 53
[30] QS. Al-Qiyamah : 10
[31] QS. Yunus : 12, QS. Hud : 9
[32] QS. Ibrahim  : 34, QS. Al-Isra : 11, QS. Al-Isra : 100, QS. Al-Ahzab : 72, QS. An-Nahl  : 4, QS.al-Ma’arij : 19, QS. Al-Insyiqaq : 6, QS. Al-‘Adiyat : 6, QS. Al-‘Alaq : 6, QS. Maryam : 66
[33] QS. Al-Baqarah : 8
[34] QS. Al-Baqarah : 165
[35] QS. Al-Baqarah : 200
[36] QS. Luqman : 20, QS. Al-Hajj : 3,8
[37] QS. Al-Hajj : 11, QS. Al-‘Ankabut : 10
[38] Dinamika Kehidupan Religius, Muhammad Tholchah Hasan, Listafariska : 2003

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق